A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Only variable references should be returned by reference

Filename: core/Common.php

Line Number: 257

Menyambangi Pesona Pedesaan Suku Batak di Pulau Samosir

Menyambangi Pesona Pedesaan Suku Batak di Pulau Samosir

Author : Alvin Pranadjaja | 05-05-2015

Setelah tinggal bertahun-tahun di pulau Jawa akhirnya saya bisa mengunjungi tanah kelahiran bangsa batak, yaitu pulau Samosir di Sumatra Utara. Perjalanan saya ke pulau Samosir ini berawal dari ajakan Ayah untuk ziarah ke makam Opung, sekaligus mengenalkan lebih dekat tentang adat dan budaya batak. Desa yang saya tuju di Pulau Samosir bernama desa Sirait, 3 jam perjalanan dengan kapal dari pelabuhan Ajibata.

Untuk mempersiapkan fisik selama perjalanan saya mencoba untuk mencicipi aneka kuliner yang ada di sekitar pelabuhan. Di sana banyak sekali rumah makan berjejer yang menawarkan masakan khas batak, mulai dari mie Gomak, Saksang, Ikan Mas Arsik, Tombur-tombur, dan masih banyak yang lainnya. Waktu itu saya memilih ikan tombur-tombur atau hidangan yang berupa ikan bakar yang disiram dengan bumbu yang kaya rempah. Rasa ikan bakarnya sangat nikmat, bumbu khas batak andaliman yang terdapat dalam sambal juga membuat ikan bakar terasa agak pedas dan ketir di lidah.

Setelah puas menikmati ikan tombur-tombur saya pun bergegas kembali ke pelabuhan karena kapal sudah bersiap untuk berangkat. Suara mesin kapal mulai menderu-deru dan perlahan bergerak menjauhi pelabuhan, di sana para nahkoda saling bertegur sapa untuk mempersilahkan kapal lain masuk ke pelabuhan. Sesudah kapal mendapat posisi yang tepat, akhirnya melajulah kapal untuk menuju pulau Samosir. Selama di perjalanan menuju pulau Samosir saya disuguhi keindahan panorama danau Toba yang begitu luasnya,  bukit-bukit hijau di kanan-kiri juga mengawal perjalanan saya. Tak jarang selama perjalanan saya juga melihat beberapa kelompok awan putih yang memayungi bukit dan kabut yang merayap di barisan pohon cemara, sungguh pemandangan yang membuat suasana di danau Toba tampak tenang.

Setelah saya mengarungi danau Toba selama 3 jam dengan kapal, tibalah saya di  desa Sirait. Ketika turun dari kapal saya sudah disambut beberapa supir becak motor, mereka menawarkan setiap penumpang yang turun untuk menggunakan jasa mereka. Sejauh mata memandang tidak ada transportasi umum seperti bis atau angkot, hanya becak motor. Bentuknya seperti becak pada umumnya, hanya saja tenaganya menggunakan sepeda motor yang ditempelkan di samping becak. Satu becak motor bisa menampung 3 penumpang dengan posisi 2 penumpang di dalam becak dan 1 penumpang berboncengan dengan supir.

Waktu itu hari sudah sore dan saya menikmati perjalanan ke kampung dengan menggunakan becak motor. Kebetulan waktu itu saya duduk berboncengan dengan pak supir, sehingga saya bisa leluasa menggerakkan kepala untuk menikmati pemandangan di sekitar kampung-kampung yang saya lewati, tak jarang hamparan sawah di kanan-kiri juga saya lewati. Sesekali wajah saya diterpa hembusan angin sore dan suara-suara yang saya rindukan ketika di desa, suara dedaunan yang saling bergesekan oleh angin.

Tak lama kemudian sampailah saya di kampung tempat saya menginap. Di sana saya sangat takjub melihat rumah-rumah tradisonal, bangunannya masih asli. Berbentuk rumah panggung, rangka dan tiang dari kayu, serta atap yang berbentuk segitiga runcing. Di bawah rumah biasanya dijadikan kandang untuk hewan ternak. Saya sungguh beruntung dapat melihat rumah adat yang masih asli, sejak SD saya hanya bisa mengagumi bentuk rumah itu dari buku-buku atau replika.

Ada satu hal unik yang tak saya temukan di pulau Jawa, yaitu babi-babi yang berkeliaran! Di sini babi dipelihara dan dilepas begitu saja seperti memelihara kambing atau ayam. Babi dewasa hanya satu ekor yang saya temui, yang lainnya anak-anak babi yang berseliweran, berlari-lari kecil di depan rumah. Maklum, di sana babi memang dipelihara, dijual dan dikonsumsi. Selain ikan mas, babi juga terkadang digunakan untuk sajian dalam acara adat. Lalu untuk hewan ternak lain juga ada ayam dan bebek.

Selain memelihara hewan ternak, mereka juga menangkap ikan pora-pora yang berasal dari danau Toba, ikannya sangat nikmat bila disantap dengan sambal. Kata mereka ikan pora-pora ini juga ciri khas ikan dari danau Toba, selain dikonsumsi ikan pora-pora ini juga dijual. Para pembeli biasanya langsung datang ke kampung mereka menggunakan truk kecil.

Lalu ada lagi yang membuat saya penasaran, yaitu melihat danau Toba dari pulau Samosir.  Setelah saya coba ternyata sangat indah! Kalau tidak ada ombak airnya terlihat jernih dan bersih hingga pasir dan bebatuan di dasar danau dapat terlihat, terkadang air danau ini juga digunakan warga untuk mandi atau mencuci pakaian. Kalau di pelabuhan penyebrangan menuju pulau Samosir, air danau terlihat agak hitam karena sudah bercampur dengan limbah warga dan kotoran atau minyak dari kapal.

Untuk kehidupan bersosialisasi, warga disni sangat ramah dan suka berinteraksi dengan sesama tetangga. Senyum dan tawa sering saya lihat disini. Saya juga berkesempatan untuk duduk bersama dan berbincang dengan mereka. Meskipun bahasa keseharian di sana adalah bahasa batak, mereka tetap nyaman menggunakan bahasa Indonesia dengan saya.

Sungguh desa yang sangat mempesona dengan warga yang ramah, budaya yang masih terjaga dengan baik, dan keindahan danau toba yang luar biasa. Semoga danau Toba dan pulau Samosir tetap indah. Masyarakatnya juga semakin sejahtera, damai, dan selalu dalam perlindungan Tuhan. 

Sumber : Lastboy T