A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Only variable references should be returned by reference

Filename: core/Common.php

Line Number: 257

Review - Monsters

Review - Monsters

Author : Alvin Pranadjaja | 11-05-2015

Seri pertamanya yang dirilis 2010 lalu mungkin bukan jenis tontonan invasi alien yang megah dan mahal, namun siapa sangka berangkat dengan modal kurang dari 500.000 dollar saja debut film Gareth Edwards (Godzilla) mampu menyajikan sebuah kombinasi unik antara tema sci-fi alien, road movie, sosial-politik dan romantika intim yang dihiasi banyak percakapan ala Before Sunrise ber-setting dunia pasca kiamat dengan balutan kualitas visual yang cantik.

Tetapi meskipun Monsters berhasil meninggalkan kesan mendalam, tidak ada yang menyangka jika ia kemudian dibuatkan seri kelanjutannya. Meskipun tergolong sukses untuk sci-fi budget rendah yang berhasil memperoleh 4 juta Dollar lebih dengan budget tidak sampai setengah juta, tetapi Monsters bukan tontonan yang bisa dinikmati oleh semua orang, apalagi yang sebelumnya sempat ‘tertipu’ oleh judulnya yang seram,

Masih berada di dunia yang sama dengan monster alien raksasa yang sama. Setting waktunya berjarak 10 tahun ke depan dari seri pertamanya di mana zona infeksi semakin melebar ke luar Meksiko. Populasi alien yang diberi nama MRT juga tumbuh semakin luas, mengacam kehidupan para manusia bumi, khususnya di wilayah timur tengah di mana tidak hanya para MRT saja yang merepotkan para pasukan Amerika namun para militan lokal yang marah karena negara adidaya tersebut sembarangan memborbadir wilayah mereka.

Satu hal yang paling mencolok dalam The Dark Continent adalah perubahan tema besar-besaran yang diusung oleh sutradara baru Tom Green, dari drama perjalanan dengan bumbu cinta, sekuelnya kali ini mencoba tampil lebih mainstream dengan menjadikannya sebuah sajian film perang alien. Di satu sisi perubahan yang terjadi mungkin akan terdengar menyenangkan buat sebagian penontonnya yang lima tahun lalu sempat kecewa dengan yang ditawarkan film pertamanya. Ya, kali ini ada lebih banyak aksi, lebih banyak ledakan dan berondongan peluru, lebih banyak alien super besar yang mengacam, belum lagi konflik internal klasik antara Amerika dan para pembecinya dari kawasan timur tengah juga diangkut untuk memberi banyak konflik. Masalahnya, di sisi yang lain, perubahan yang terjadi membuatnya banyak kehilangan jati diri dari film pertamanya, tidak ada lagi keitiman dari relasi karakternya, tidak ada lagi sebuah perjalanan emosional mengarungi dunia apokaliptik, tidak ada lagi subteks provokatif yang dalam.

The Dark Continent menjadi sangat mengecewakan, bukan karena perubahan genre yang drastis namun juga karena ketidak mampuan Tom Green menyugguhkan sesuatu yang ironisnya, kini sebenarnya menjadi jauh lebih sederhana dari pendahulunya. Menyelipkan konflik segitiga antara Amerika, alien dan pemberontak timur tengah, The Dark Continent mestinya bisa tampil lebih padat dan kompleks, tetapi Green seperti tidak tahu apa yang dilakukannya. Kemunculan para MRT yang katanya semakin merajalela tidak sebanding dengan gembar-gembornya. Ya, kita akan melihat kemunculan para monster mirip cumi-cumi berukuran masif itu lebih banyak dan lebih sering sekarang, tetapi tidak ada ancaman yang hadir ketika mereka muncul. Para MRT digambarkan sebagai mahluk besar yang pelan dan tidak berdaya, begitu mudah ditaklukan hanya dengan beberapa gempuran IED and RPG, tidak ada interaksi berarti antara manusia dengan para mahluk asing itu, malah bisa dibilang gesekan antara pasukan Amerika dan para pemberontak timur tengah yang lebih memikat, tetapi ini sci-fi alien invasion bukan war movie konfensional, semua terasa begitu salah tempat, membingungkan sebenarnya apa yang ingin diceritakan oleh Green di sini?

Dengan kecepatan penuh, The Dark Continent yang sempat memberikan harapan di opening-nya langsung jatuh ke dalam kubangan film perang medioker, seperti KW 2-nya The Hurt Locker yang belepotan lumpur. Karakterisasinya yang tampak menjajikan di awal-awal film bertansformasi menjadi kosong melopong tak berguna. Buat apa memberi latar belakang cerita pada tokohnya jika kamu langsung membunuhnya tanpa ampun? Dalam perjalannya, narasi The Dark Continent pun menjadi tidak konsisten. Jika ini memang Monsters yang berlatar sama dengan pendahulunya, ia jelas gagal melanjutkan benang merahnya dan jika ini sekedar film perang modern biasa, ia juga gagal menghadirkan konflik yang kuat. Tetapi apapun itu yang ingin dihadirkan Green, ia termasuk sangat membosankan untuk ukuran film yang berisi para serdadu Amerika memburu alien dan Dan penderitaan penontonnya menjadi-jadi ketika Green memberi sebuah momen sureal yang membuat frustasi, momen yang mungkin hanya bisa dimengerti Green dan penulis naskah Jay Basu.

Sumber : Hafilova